Pengakuan

Akulah musafir yang mencari Tuhan 
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk 
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi 
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabut pagi. 
Akulah yang telah berperi, 
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat, 
Dari manusia, dari dunia, dan dari Tuhan. 

Ah, bumi yang mati, 
Lazuardi yang kering. 
Bagaimanakah aku masih dapat, 
Menyayangkan air mata berlinang dari kembang kerenyam yang kering, 
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bambu lebih rendah dari wajah lautan. 

Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata telah hampir terkatup, 
Karena murtad, karena tiada percaya 
Karena lelah, karena tiada punya ingatan, 
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas berganti-ganti bentuk
Dari suatu lembah gelap dan suram 
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan, 
Tuhan yang berkata. 
Akulah musafir yang mencari Tuhan, 
Dalam negeri batu retak, 
Lalang dan api yang siap bertemu. 
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu, 
Dari seorang pencari rupa, 
Dari rupa yang tiada lagi dikenalinya. 

Perawan ringan, perawan riang 
Berlagulah dalam kebayangan 
Berupa warena 
Berupa wareni, 
Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur. 
Marilah bermain. 
Marilah berjalin tangan, 
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip 
Lebih samar dari sinar surya senja, 
Kita akan bermain, 
Dan tidur pulas, sampai 
Datang lagi godaan: 
"Akulah musafir yang mencari Tuhan." 

Bogor, 22 Februari 1949

-Asrul Sani

Puisi Terpopuler Bulan Ini

Aku